Pengertian Selfie
Sebelum kita membahas hukum selfie alangkah baiknya kita menyimah dari Pengertian Selfie
Selfie
adalah sebuah jenis self-portrait foto, dimana biasanya diambil dengan kamera
digital genggam atau kamera ponsel. Selfies juga sering dikaitkan dengan
jejaring sosial, seperti Instagram. Orang-orang biasanya melakukan foto Selfie
dengan cara menggunakan kamera yang dipegang dengan lengan panjang atau di
hadapan cermin. Foto selfie biasanya juga menggukan ekpresi yang berlebihan di
hadapan camera.
Selfie
adalah sebuah jenis self-portrait foto, dimana biasanya diambil dengan kamera
digital genggam atau kamera ponsel. Selfies juga sering dikaitkan dengan
jejaring sosial, seperti Instagram. Orang-orang biasanya melakukan foto Selfie
dengan cara menggunakan kamera yang dipegang dengan lengan panjang atau di
hadapan cermin. Foto selfie biasanya juga menggukan ekpresi yang berlebihan di
hadapan camera.
Biasanya
seseorang yang sering berselfie didalam hatinya akan muncul hal-hal berikut
Ø
TAKABBUR
Ø
RIYA
Ø
‘UJUB
Bisa disimpulkan bahwa hukum selfie tergantung pada niat didalam hati seseorang, namun kebiasaan berselfie bukanlah hal yang baik untuk dijadikan kebiasaan atau malah HOBBY. Dikarnakan, mengingat selfie dapat/memunculkan sifat-sifat diatas maka HARAM HUKUMNYA.
Dari segi kejiwaan, selfie ini adalah bagian daripada
perlilaku narsis, yang diambil dari perilaku seorang Yunani bernama Narcissus,
yang terobsesi pada dirinya sendiri, senantiasa bercermin dan kagum dengan
pantulan imaji dirinya sendiri di air, lama kelamaan jatuh tercebur dan mati
karenanya. Perilaku narsis inilah yang menjadi bahaya tatkala melakukan selfie.
Pandangan Islam Tentang Malu Sebagai Akhlak
Islam
Yang pertama Islam
memandang rasa malu adalah akhlak yang sangat utama di dalam agama. Bahkan
Rasulullah saw bersabda,
“Sesungguhnya
setiap agama memiliki akhlak, dan akhlak Islam adalah malu” (HR Ibnu Majah)
Terlebih bagi wanita, rasa malu ini adalah
pakaian baginya, menjadi hiasan terbaik yang bisa dikenakan oleh seorang
wanita, karena Rasulullah juga berpesan, rasa malu itu tidak mengakibatkan kecuali
kebaikan.
Rasulullah juga bersabda,
“Keimanan
itu ada 70 sekian cabang atau keimanan itu ada 60 sekian cabang.
Seutama-utamanya ialah ucapan ‘La ilaha illallah’ dan serendah-rendahnya ialah
menyingkirkan gangguan dari jalan, dan malu itu adalah cabang dari keimanan”
(HR Bukhari Muslim)
Bila seseorang betul-betul mengetahui fakta
selfie, maka mereka akan memahami betul bahwa selfie yang dilakukan kebanyakan
remaja Muslimah bahkan menjangkiti ibu-ibu pun, bukan lagi terkait dengan
teknik foto, namun sudah banyak masuk ke dalam ranah perilaku narsis tadi,
benar-benar sudah berlebihan.
Bagi
yang memahami betul fenomena ini, akan mengetahui tingkah polah kaum Muslimah
yang desperately terlihat cantik, mati-matian cari perhatian dan komentar
dengan foto selfienya, dengan berbagai macam pose, mimik, dan gaya, andalannya
duck-face (wajah dengan bibir yang dibuat seperti bebek).
Padahal Allah berpesan pada Muslimah,
“Katakanlah
kepada wanita yang beriman: ‘Hendaklah mereka tundukkan pandangannya, dan
memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali
yang (biasa) nampak daripadanya’…” (QS 24:31)
Perintah Allah sudah jelas, bahwa wanita harus
menjaga diri mereka, menjaga rasa malu dan kemaluan, tidak justru menampakkan
perhiasannya, atau bahkan memamerkan dirinya pada publik.
Dalam ayat yang lain Allah singgung pula
tentang perilaku tabarruj, yaitu segala sesuatu tindakan berhias yang ditujukan
agar diperhatikan oleh lelaki.
“dan
janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang
dahulu” (QS 33:33)
Menurut Ibnu Mandzur, arti tabarruj adalah
wanita yang memperlihatkan keindahan dan perhiasannya dengan sengaja kepada
lelaki. Imam Qatadah menambahkan tatkala menafsirkan ayat ini, bahwa tabarruj
adalah wanita yang saat berjalan keluar dari rumahnya berlenggak-lenggok lagi
menggoda lelaki.
Sampai disini saja, kita semua harus
bermuhasabah, memang ini perkara amalan hati, namun alangkah baiknya bila kita
bertanya pada diri sendiri, apakah amanah yang Allah pinta untuk kita jaga itu,
rasa malu itu sudah kita tunaikan? Ataukah kita menggerusnya terus-menerus
dengan melatih memamerkan diri kita pada oranglain? Salah satunya dengan
selfie?
Kedua, bila kita memperhatikan fakta secara
mendalam, maka kita akan memperhatikan bahwa fenomena selfie ini sangat
berkaitan dengan materialisme. Bahwa segala sesuatu diukur dengan kepuasan
fisik, mencari perhatian dari yang fana dan tertagih untuk melakukan hal
tersebut terus-menerus. Karenanya bahaya selfie ini dikhawatirkan akan
mengantarkan kita paling banyak pada takabbur, riya, dan paling sedikir sifat
ujub, yang ketiganya adalah penghancur amal salih.
Kita tidak sedang mengatakan bahwa selfie pasti
ujub, riya, takabbur, tidak pernah. Kita pun tidak membahas halal dan haramnya.
Selfie kita kembalikan lagi sebagai salah satu teknik foto, dan berfoto adalah
boleh. Namun apakah salah ketika kita bernasihat bahwa hati-hati seringnya
selfie ini berujung pada ujub, riya, takabbur?
“Tiga
dosa yang membinasakan, sifat pelit yang ditaati, hawa nafsu yang dituruti, dan
ujub seseorang terhadap dirinya” (HR Thabrani)
Apa yang sebenarnya orang inginkan tatkala
melakukan selfie? Tentu ada banyak niat. Hanya saja bila kita
perhatikan kebanyakan foto yang dihasilkan? Berbagai pose yang dibuat dengan
mimik yang tak kalah ganasnya, mengagumi diri sendiri, takjub pada diri
sendiri, bukankah ini namanya ujub?
Naik lagi satu tingkat, selfie ini dilakukan
agar bisa diunggah ke media sosial, agar dikomentari dan di-likes, mulailah dia
berbuat karena orang lain, bukan karena Allah Swt, bukankah ini namanya riya?
Naik lagi satu tingkat, dengan mengagumi foto,
dipuja-puji oleh orang lain, lalu dia menganggap dirinya lebih dari orang lain,
bukankah ini takabbur?
Bila diantara kita bebas daripada sifat-sifat
begitu, tentu kita bersyukur. Dan jikalau kita tidak memiliki hal-hal seperti
itu saat melakukan selfie, maka silakan saja. Hanya saja hati-hati, hati yang
berpenyakit, seringkali tidak menyadari.
“Sesungguhnya
Allah mencintai hamba yang bertaqwa, yang berkecukupan, dan yang tidak
menonjolkan diri” (HR Muslim).